upcoming event(s)

Monday, July 30, 2007

Leurs Amours: Conte de Fées [1]

Blog kali ini akan terdiri dari beberapa episode, kalo gw lagi rajin mungkin akan dalam bahasa inggris tapi berhubung gw sebenernya lagi di tengah-tengan pengerjaan paper Ekonomi Pembangunan, jadi pake bahasa Indonesia aja [lho apa hubungannya?]. Just like its title, blog ini akan menceritakan kisah kasih temen-temen gw yang bak fairytale aja—berasa sinetron gitu. Siapa tau bisa jadi inspirasi buat sutradara-sutradara Indonesia yang sekarang kerjanya motokopi film luar [esp: Korea]. Berasa nggak ada ide yang orisinil aja, kalopun ada pasti dikemas dengan menganut paham instanisme. Gw aja yang orang awam dalam film bisa liat suatu film itu well-prepared atau cuma bener-bener kayak namanya: KEJAR TAYANG—yang penting tayang. L! Daripada bikin malu nyadur-nyadur film luar, mendingan nyadur aja dari kisah temen-temen gw ini. Iya nggak, guys? Ha..ha..ha..

[Whose story I should begin? Gambreng dulu deh, hompimpah alaium gaambreeeeng! Wah elo Hep, okay nggak usah seneng gitu dong. Biasa aja kali.L!]

Notes: Waktu penuli minta izin hak cipta sama oknum yang bersangkutan, ternyata dia memperbolehkan gw nulis namanya. Asal nama pasangannya disensor.

Episode 1: Sarat Asumsi dan Ekspektasi.

Kebetulan, kisah temen gw yang satu ini emang seringkali ditemui di kehidupan kita—pernah juga gw alami malah [lho, kok curlong?], yah bisa dibilang kisahnya udah akut banget! Temen gw, A [gender: female] dan si target, katakanlah, adalah B [gender: male] Ya iyalaaaah, Cha! Ha3... Cuma jaga-jaga aja, siapa tau si A ini AC/DC gitu. Berawal saat A baru pertama kali ngerasain pake putih abu-abu alias baru masuk SMA, biasalah rutinitas anak baru: MOS. Dia harus minta tanda tangan anak-anak OSIS di sekolahnya. Sebenernya sebagai junior dengan gender perempuan, akan sangat menguntungkan sekali kegiatan minta tanda tangan ini karena bisa sekalian hunting senior cowok yang ganteng-ganteng. Bukan begitu, A? Kegiatan tersebut pada akhirnya mempertemukan lo dengan sesosok cowok, kakak kelas yang dua taun lebih tua, ganteng, keren, terlihat alim, pokoknya OK lah dibanding pengurus osis lain yang harus dia mintain tanda tangan. Sejak detik itu pula, hati temen gw ini nggak ke mana-mana alias teruuuuus aja ngikut sama tuh cowok yang notabene idola sejuta umat [gw sih nggak ya..]. Bahkan sampe dengan si cowok itu udah melanglang buana ke negara seberang untuk melanjutkan studinya pun, hati temen gw ini masih juga ngikut! [pasti itu hati lw minumin hemaviton action ya, A. Gila ya..Nggak ada capek2nya!]

Masalahnya adalah selama 4 tahun dia mengagumi B, belom pernah sekalipun dia terlibat percakapan yang signifikan dengannya [kalopun ada pasti dead air abis ya, A. I know what you feel]. Bahkan bisa dibilang, itu cowok mungkin nggak tau kalo si cewek ini eksis [ah nggak segitunya juga sih, Cha], yah intinya si cowok ini nggak tau kalo tuh hati [yang tadi diminumin hemaviton action] ngikutin dia selama 4 tahun ini. Kasian juga ya si A, padahal kalo menurut gw, A adalah orang yang punya segalanya untuk dibanggakan di depan setiap cowok yang dia temui: pinter, cantik, seksi, baik, PD puuuulaaaa! Tapi nggak tau kenapa kalo udah menyangkut si B, PD-nya yang setinggi Monas itu roboh nggak bersisa. Once again, NGGAK BERSISA. Susah sih, memang. I experienced it [colongan lagi]. Mindset si A udah bener-bener menilai si B sedemikian tinggi [kalo dia menilai dirinya Monas, berarti si B adalah menara Petronas] sampe-sampe dia sendiri nggak berani berdiri di sebelahnya, jangankan untuk mensejajarkan, she cannot even think about doing it. Segala tentang B itu SEMPURNA, nggak ada cela. Dan yang terjadi selama empat tahun ini adalah dia terus-terusan JALAN DI TEMPAT. Maju nggak, mundur nggak. Stay right where she was yesterday, no..no.., right where she was 4 years ago. Hebaaaat, hebaaaat lo, A! [Nabir Cihuy mode: ON]. Emang sih, sempet juga mereka berinteraksi lewat email [L!] yang jumlahnya nggak lebih banyak dibanding jari tangan manusia [I saw it in your email, Hep!]. Gw ngerti abis perasaannya waktu dapet email-email tsb, pasti SENENG ABIS karena mindset-nya yang udah begitu tentang si B, segala hal kecil pun jadi sangat besar di matanya [jangankan si A, gw aja saking sering terhanyut oleh cerita-cerita A tentang B jadi suka ikut-ikutan seneng yang nggak keruan gitu]. Pokoknya ada respon sedikiiiit aja dari B, langsung deh satu komunitas kecil yang bahagia dan suka nongkrong di kafe baru ini, oh salah bahkan satu Depok, jadi ikut HEBOH, ha..ha..

My comment, [berasa Pak Lepi aja] apa yang gw tangkep dari lo selama ini, A, adalah terlalu banyak asumsi dan ekspektasi lo terhadap B yang sebenernya lo karang2 sendiri. Mungkin lo bosen ya, A, denger ini dari gw tapi berdasarkan pengalaman gw [dan beberapa orang yang gw lihat] asumsi dan ekspektasi lo tentang dia itu yang akan membunuh lo pada akhirnya. Itu bak pedang bermata dua.

Di mana, ketika asumsi dan ekspektasi itu salah, dengan kata lain, nggak sesuai sama kenyataannya si B, lo akan mengalami kekecewaan yang dalem abis. Di saat apa yang lo asumsiin dan yang lo ekspektasiin tentang si B selama ini nggak seperti yang kenyataannya, lo pasti SIYOK gila, A. Believe me, it’s not as easy as movies say: love is accepting our lovers just the way they are [L!]. It was hard. Okay, adjustment itu ada, tapi untuk melakukannya pun nggak semudah yang lo kira karena elo udah meninggikan dia setinggi Petronas, terus tiba-tiba dia cuma setinggi menara air UI [apa nggak KALAP lo, A?]. Even an adjustment takes time, takes struggle, takes everything. Dengan asumsi dan ekspektasi lo selama empat tahun ini tentang dia, nggak akan segampang itu, A: merubah mindset gitu aja, L! Ditambah lagi, gw kenal sifat lo yang ‘lumayan’ keras kepala. Phew, so doubtful.

Beda lagi kalo asumsi dan ekspektasi temen gw itu bener, apakah dia akan bisa mengatasi nobody syndrome [bisa dibaca di posting-an Nobody is Nobody]-nya yang selama ini melekat begitu erat bak ditempel pake lem UHU. Pun si B BENER sesempurna yang lo bilang, dia sendirilah yang akan masih dihantui leh nobody syndrome lo itu.

Dan entah penyelidikan gw bener atau nggak, mindset A itulah yang selama ini membuat dia menghancurkan rasa PD-nya sendiri kalo di depan si B. Bukan karena B yang terlalu sempurna buat dia, tapi karena pandangan A yang begitu tentang si B sehingga bikin lo jiper duluan kalo mau berdiri di sebelahnya. [Inget ya A, elo yang meninggikan si B sampe setinggi menara Petronas, why don’t you do the same thing to yourself then? Tinggiin juga dong diri lo setinggi itu, masa iya ke dia bisa terus ke diri lo sendiri malah nggak bisa. L deh A!]

Masih dalam episode yang sama, dan masih tentang si A dan si B. Selama ini gw menilai kalo A adalah orang yang realistis, makanya di saat gw sedang romantis atau melankolis gimanaaa gitu, A adalah tempat pertama yang gw tuju untuk bisa kembali berpikir rasional [Nabir juga sih!]. Once again, hanya dalam kasus B hilanglah sudah apa itu rasional, apa itu realistis buat seorang A. B adalah seorang yang menurut Amemiliki kriteria wanita yang JELAS [nggak perlu dibahas kayak apa], yang bagi dia agak mustahil untuk bisa memenuhi kriteria tersebut. Sebenernya yang dibutuhkan A adalah suatu perubahan, emang sih buat orang kaya dia [orang kaya dia? Orang kaya apa tuh maksud lo? AADC giilaaa] perubahan itu fundamental abis, fundamental giiilaaa. Dan perasaan belom memenuhi kriteria wanita untuk si B itulah yang mungkin seringkali membunuh rasa PD-nya. INGET SODARA, segala hal ihwal tentang kriteria wanita si B ini pun masih ASUMSI nya A semata [C!].

Katakan asumsi-nya kali ini bener, apa yang membuat dia nggak rasional adalah dia sama sekali nggak ada usaha untuk melakukan perubahan itu, dengan alasan dia nggak mau berubah secara fundamental hanya untuk laki-laki. Pertanyaannya adalah, A udah tau kalo dia bukan kriteria wanita yang diinginkan si B lalu kenapa masih aja dia mengharapkan si B? [Kalo lo lagi mensehati gw A, lo pasti akan bilang: “TINGGALIN AJA, Cha! L deh!”]. Sekarang coba ya, gw bilang: Tinggalin aja, A! L deh! C!

Sekarang katakanlah asumsinya tentang kriteria wanita si B salah, bahwa si B adalah orang yang flexibel dalam menilai wanita. Seharusnya, berkuranglah tendensi Auntuk membunuh rasa PD-nya. Pertanyaannya adalah, kenapa A sama sekali nggak ada usaha untuk bisa membangun rasa percaya dirinya, dan dia masih aja berkutat mengagumi si B dari jarak jauh tanpa ada usaha apa-apa. Mana A yang realistis dan selalu berpikir dengan rasional?

Mungkin bener ya kata Pak Lepi: too rational makes you crazy.Dan bener juga kalo: love doesn’t deal with rationality. Jadi kalo diambil silogisme acak: We need love so we won’t crazy.

Phew, bahkan untuk membuktikan apakah asumsi dan ekspektasi-nya itu benar atau nggak, dia nggak berani? Bah! C! Sekarang gimana A bisa melangkah kalo dia terjebak dalam asumsi dan ekspektasi-nya sendiri, sedangkan dia nggak mau membuktikan apakah itu bener. Yang paling parah adalah, selama empat tahun hatinya mengikuti si B, nggak pernah sedikitpun terlintas di kepalanya untuk bisa membuka hati itu buat orang lain yang sebenernya udah nunggu-nunggu. A, it’s a mistake. Kalo dianalogikan, lo itu bagaikan beli kucing dalam karung. Lo nggak tau di dalem karung itu bener-bener ada kucing atau nggak, kalo yang ada di dalemnya tikus gimana? Sedangkan kucing-kucing yang secara eksplisit dateng ke elo malah lo usir, lo cuekin, dsb. Apa lo nggak nyesel kalo di antara kucing-kucing eksplisit tadi ada yang bener-bener worthed buat lo? Nyesel abiiiiis deh, A, trust me.

Jadi saran gw: melangkahlah A. Entah itu maju atau itu mundur. Kalo lo masih bener-bener yakin, MAJU! Nggak usah tanggung-tanggung. Liat A, tanggal 21 Agustus nanti gw akan membuka jalan buat lo untuk melangkah maju. Terserah, apakah lo mau melaluinya atau nggak. It’s your choice, babe.Tapi kalo lo emang mau mundur, MUNDUR lah. Masih banyak cowok kaya begitu di Pasar Baru [ha3]. Yang penting, dalam kedua pilihan itu lo harus BE OPEN. Jangan sampe lo melewatkan kucing yang worthed! Ok Beb!

Episode 1: TAMAT.

No comments: