September 19th, 2007
My room, [
Duniaa.
Kenaaaaaaaaaapa yaaaaaaa?
Kadang gw itu suka nggak habis pikir aja sama jalan pikiran orang yang suka seenaknya sendiri *kayak elo nggak kayak gitu aja, Cha*. Adaaa gitu orang yang bisa-bisanya nggak mikirin perasaan n kepentingan orang lain *nggak dapet aja gw konsepnya, Bir!*. Yaa, katakanlah gw juga kayak gitu, tapi bisa dibilang gw masih memenuhi SOP lah *duh, eneg gila denger istilah itu*. Sebenernya sih tujuan dari posting-an kali ini adalah memuntahkan semua yang akhir-akhir ini memenuhi hati dan pikiran seorang Marissa Danastri. Cuma kalo dipikir-pikir, bakalan kayak gimana nanti kalo sampe ada pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh karena muntahan gw ini *sumpah, Cha, jijik abis! Nggak boong dah*. Gimana kalo ada pihak-pihak yang tingkat sensitivitasnya di atas rata-rata, jadi kalo ada sindir-sindir atau kata-kata yang salah langsung deh tersinggung, ngambek, marah, atau jadi moody?I ICHAaaapeee deeeeh!
Gw emang selalu bilang berulang kali, I don’t have to be objective on my own blog. Tapi, yaa kalo udah menyangkut kemaslahatan umat dan akidah, udah deh itu nggak bisa diganggu-gugat. *Halah..Ngemeng aja lo, Cha.*
*terlalu lama ngelantur dan menimbang-nimbang*
Jadi gini ceritanya, udah hampir dua minggu ini gw ngerasain sebuah sensasi yang judulnya: sebentar-lagi-beneran-gila. Mau tau nggak kayak gimana rasanya? Rasanya tuh semakin hari sepertinya Grogol merupakan tempat yang more preferable for me dibandingkan sebuah entitas pendidikan yang wajib gw datangi hampir tiap hari—kampus. Mulai dari kepanitiaan, organisasi, kuliah, komunitas, habitat, dll bikin tingkat kegilaan gw jadi sangat fluktuatif akhir-akhir ini.
Pikir ajaa yaa… Belom lama ini gw resigned dari sebuah organisasi yang ternyata nggak pernah ada ngerasain sensasi anggota resigned. Alasan sih pasti selalu aja ada, apalagi kalo dicari-cari, tapi yasuuuwlah it is time for me to accept its concequences. I who decided to join, I who decided not to get involve insides, and now I who should end it beautifully *L deh, Chaaaa. Emang lagunya peterpan?!*.
Kegilaan gw dilanjutkan dengan sebuah bidding sebuah kepanitiaan bergengsi yang berlangsung hampir lebih dari 15 jam *itu belom diakumulasi dengan waktu ngaret oknum2 yang berasa penting*. Bidding tersebut udah menyita malam minggu 28 anak malang yang musti terdampar di luntang-lantung di depan ruang bidding. You know what, tuh kepanitiaan udah dari 3-4 bulan yang lalu dipersiapin oleh tim gw. I, dengan membuang segala subjektivitas karena bagian dari tim tersebut, do admit and confess that our team has produced a controvertible-indisputable amazing and magnificent concept. Teknisnya juga udah dipikirin se-detail mungkin, it has really had. Sayangnya, Tuhan belom mengizinkan; semua kerja keras kami selama empat bulan itu berakhir dengan cukup p*hit dan penuh dengan question mark yang muncul dari benak gw secara pribadi. Sebenernya sih yaa, berhubung ini bulan Ramadhan, gw bener-bener pengeeeen banget menjauhkan diri dari sensasi-yang-gw-rasain-waktu-baca-hasil-penilaian-bidder *bisa nebak sendiri kan apa nama sensasi itu*. Pengennya siih bisa jadi orang yang positive thinking, tepo sliro, dan lapang dalam menerima kekalahan/kegagalan. Cuma yaa gimaaanaaa yaa, khusus menyangkut hal ini buat gw pribadi, adalah wajar kalo gw ngerasain tuh sensasi karena hal ini sendiri yang sangat amat mengundang sensasi-yang-gw-rasain-waktu-baca-penilaian-bidder. Huuufh. Untuk seketika, gw ngerasa jadi korban dari sebuah bobroknya sistem yang diciptakan oleh sesama manusia tapi dengan tingkat moral eror yang sudah sangat memprihatinkan *jaeelaaah*. Kalo katanya Dosen StatEk gw, sampel dari sebuah populasi itu harus memenuhi salah satu ciri yang disebut representatif. Ketika sebuah sampel tidak bisa mewakili/ merepresentasikan populasinya, maka sampel tersebut nggak nggak layak dijadikan objek penelitian. Sama aja kayak manusia-manusia yang udah dianggap sebagai representative oleh populasinya; ketika mereka nggak bisa merepresentasikan/ mewakili populasinya—atau malah cuma bisa mewakili sebuah atau beberapa komunitas dalam populasi tersebut, maka kredibilitas manusia (sampel) tersebut patut diragukan. Yaa, makanya ketika kita ini udah terpilih jadi manusia yang keberadaannya atau posisinya dianggap representatif, mbok yaa jangan hanya mewakili kepentingan komunitas-komunitas tertentu aja.Ckckck, dosa loh! Yaudah juga sih, gw nggak pernah percaya sama yang namanya KARMA; karena gw percaya kalau Tuhan itu Mahaadil. Nggak ada yang bisa bener-bener adil selain Dia. Hmmm. Mungkin p*hit kali ini pun karena emang Dia udah mempersiapkan manis di waktu yang lebih tepat. I do believe it. Hohohohohoho. *gitu maennya...bawa-bawa Tuhan..*
Hal lain yang bikin gw makin gila adalah terjadinya sebuah sensasi yang sejujurnya udah sangat biasa dan udah sangat familiar bagi gw, tapi tetep aja gw belom juga adaptif terhadap sensasi tersebut. Sampe-sampe gw heran dan bertanya-tanya sama diri sendiri,’Kenaaaaaapa gitu? Kenaaaapa?’. Sigh. Mungkin emang kadar gila dalam diri gw bener-bener udah mendominasi rasio gw *jaeelaaaah, Cha*. Kalo boleh jujur sih, sensasi ini bener-bener menyiksa psikis gw. Masalahnya, subjek yang menyebabkan sensasi ini bener-bener subjek yang sifatnya sangat dominan dalam menentukan mood gw. Subjek jenis ini menempati peringkat pertama dalam prioritas gw, jadi udah jelas kenapa sensasi yang disebabkan olehnya mampu bikin gw makin gila. Sensasi ini nggak jauh beda lah dari apa yang udah gw sebut-sebut di pembukaan postingan ini. One-who-thinks-everything-based-on-her/his-sight-only. One-who-feels-everybody-is-going-along-with-her/his-willingness. I guess I’m done. And I think it’s time for me to say: I’m not always what you want. I’m not always what you need.And I’m not always what you see. Please, wake up, dear. The world will not always follow you. The world will not always go along with you. Kalo kata Joblai 1 sih, “Br*ngsek abiiis emang, Cha. Cuma sabar-sabarin aja!”. Sedang Joblai 2 bilang, “Udaah, anggep aja kunt*lanak dari mana gitu, atau anggep aja nggak ada!” Yeah, gitu aja kali yaa..
Kegilaan gw kembali dilanjutkan, kali ini oleh sebuah akhir yang ‘nggantung’ dari curahan hati beberapa oknum kepada gw. Curahan hati di sini sukan berarti oknum-oknum tersebut curhat ke gw, tapi curahan hati yang isinya itu tentang gw *penting abis sih lo, Cha!*. Inti dari curahan hati oknum-oknum tersebut adalah hilangnya kredibilitas gw di depan mereka. Whew, what a confession. Yaa, mereka men-judge gw nggak bisa memenuhi ekspektasi mereka seperti yang sudah seharusnya gw lakukan. Gw seringkali menomor duakan jobdesc gw sampe-sampe harus mereka yang mengerjakan *hooo, kasiaaaan, maap banget yaa*. Oknum-oknum tersebut tuh udah kesel banget sama gw, sampe yang udah males gitu deh mau ngomong sama gw *L!!!!*. Sayangnya, semua curahan hati itu sifatnya sangatlah subjektif *Cha, emang ada curahan hati yang objektif?!*. Nggak semuanya bener, bahkan ada yang kesannya terlalu berlebihan untuk diucapkan oleh oknum-oknum yang merupakan representatif dari sebuah organisasi yang udah dianggap credible lah dalam masalah profesionalisme kerja. Dan kembali saudara-saudara, berdasarkan curahan hati oknum-oknum tersebut, gw jadi meragukan kredibilitas organisasi itu. It’s out of personal things, here. Beneran deh. Yaaah, gw berharap sih kalopun oknum-oknum tersebut masih ada yang ngganjel di hati, silakan aja ngomong. Dan kalopun emang jadi males ngomong atau berinteraksi sama gw, yaa sebatas professional aja, jangan sampe kebawa personal lah. Apalagi, bulan Ramadhan gitu.
May the professionalism and maturity be with them.
Amiin.
[ChaBrilliantlyFascinatingAndProfessional]
Hehehehe.
1 comment:
Oi, oi. He-Who-Is-Suck, just stopping by. Thanks for the post, jadi sedikit membuka mata. Kalo gue ada salah sama lo yang tidak gue sadari, maafin ya. Jangan ngirim Bourne/Kasimun utk ngebunuh gue..
Post a Comment